Oleh : M. Fajri Bayu A / 13306053
Disusun untuk memenuhi tugas TF4121 Teknik Akustik 2009
Disusun untuk memenuhi tugas TF4121 Teknik Akustik 2009
Ternyata bising juga banyak terjadi di lautan. Tanpa keraguan lagi, karakter bising yang tak terkontrol ini, secara besar-besaran terjadilah sumber suara dalam skala besar yang telah menjadi ancaman ketidakseimbangan ekosistem. Lautan telah jenuh akan suara bising hingga membutakan kebanyakan kehidupan biota laut.
Ya, itulah fakta yang telah terjadi. Kenapa bisa begitu? Apa yang terjadi sebenarnya? Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana akustik dapat mengancam kehidupan penghuni bawah laut, silakan simak penjelasan ilmiah berikut secara seksama.
Pendahuluan
Acoustic Smog atau dapat diartikan sebagai Asap Akustik merupakan suatu istilah yang merujuk kepada polusi bising di lautan yang disebabkan dari ulah manusia (man-made noise), biasanya terdiri dari sumber yang berasal dari :
- Perkapalan
- Produksi dan eksplorasi minyak & gas offsore
- Sonar militer atau industri
- Eksperimen
- Ledakan bawah air dan aktivitas penduduk lainnya dalam laut
- Bising dari Pesawat
Tercatat dalam penelitian bahwa perairan Indonesia termasuk kawasan trafik perkapalan paling padat bersama dengan kawasan lautan Atlantik Utara dan Pasifik Utara. Ini berarti bahwa area tersebut banyak terdapat Acoustic Smog.
Dari berbagai berita menunjukkan bahwa acoustic smog ini memberikan dampak yang mengancam penghuni bawah laut khususnya ikan paus, lumba-lumba dan mamalia lainnya. Salah satu yang sedang menjadi studi dari penelitian Son de Mar adalah spesies Cetacean. Mamalia ini banyak menggunakan sinyal akustik untuk keberlangsungan hidupnya seperti bermigrasi, reproduksi, mencari makan dan berkomunikasi dengan sesamanya.
Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi buatan manusia, begitu banyak bising yang lalu-lalang bahkan telah ada sejak seratus tahun yang lalu. Ini ternyata berakibat fatal kepada kemampuan Catacean untuk berkomunikasi melalui sinyal akustik khususnya. Lebih lanjut fakta membuktikan bahwa acoustic smog secara langsung berkontribusi terhadap kematian spesies ini.
Efek dari acoustic smog terhadap spesies Cetacean meliputi :
- Migrasi (perpindahan)
- Avoidance reactions (Reaksi penghindaran)
- Tabrakan dengan kapal
- Terdampar
- Kerusakan pendengaran
- Trauma akustik
- Kematian
- Ancaman kepunahan
Selanjutnya, fakta ilmiah membuktikan bahwa man-made noise (bising ulah manusia) sering menyebabkan luka pada organ akustik dari cetacean bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sinyal Akustik Cetacean sebagai Bio-Indicator
Sebagai predator puncak dari rantai makanan, Catacean telah berkembang selama berjuta-juta tahun dan telah memiliki persepsi akustik tersendiri dengan keadaan lingkungannya. Untuk itu, spesies ini dapat dijadikan sebagai indikator dari keseimbangan akustik dalam lautan.
Mengerti akan akan bagaimana mamalia laut merasakan kondisi lingkungannya dan memahami seluk-beluk dari metode komunikasi mereka perlu diperhatikan dalam menyelidiki konservasi dari ekosistem perairan dan pengembangan aktivitas manusia pada laut yang berkelanjutan.
Sistem pendengaran cetacean mempunyai karakteristik berupa elemen morpoligi unik (unique morphological) yang berlapis-lapis yang terdapat pada tubuhnya. Elemen ini digunakan untuk beradaptasi , dimana elemen ini menunjukkan kemampuan cetacean untuk memilah-milah frekuensi akustik sehingga dapat mendiskriminasi detail-detail dari citra akustik yang ditangkapnya. Elemen ini bisa disebut sebagai auditory channel (saluran pendengaran) yang berfungsi sebagai frequencies filters (penyaring frekuensi). Dalam organisme yang normal, pemilahan frekuensi -termasuk yang diproduksi maupun yang diterima dari sekitar- itu evolusioner, maksudnya berkembang sesuai dengan habitat. Sehingga karakteristik pendengaran setiap spesies cetacean berbeda-beda tergantung pada habitat ia berada. Di sisi lain, dengan mengetahui sensitivitas telinga sebagai sensor pendengaran terhadap beberapa sinyal akustik dapat diperkirakan kapasitas akustik untuk hidup dalam habitat tertentu.
Ada sekitar 80 spesies cetacean memiliki irama akustik yang kompleks dan unik. Ini disebut sebagai diversitas sinyal akustik tiap spesies. Analisis menjadi semakin kompleks dalam hal mengekstraksi komponen dasar yang terkandung dalam sinyal informasi dari irama akustik tersebut. Oleh karena itu, kemampuan untuk memperkirakan efek dari kontaminasi sumber suara tertentu dalam laut menjadi amat terbatas.
Ada beberapa mamalia menengah yang tidak menggunakan saluran pendengaran eksternal seperti pada kebanyakan spesies, yakni dengan menerima getaran akustik melalui jaw (rahang) yang meneruskan informasi secara langsung menuju telinga dalam dan kemudian diproses dulu sebelum disampaikan ke otak.
Fenomena Akustik Smog penyebab kepunahan mamalia laut
Ratusan tahun lalu telah bermunculan bising-bising akibat ulah manusia pada lingkungan perairan hingga kini. Padahal selama evolusinya 100 juta tahun lalu, cetacean belum pernah mengalami hal tersebut . Akibatnya, para paus dan lumba-lumba belum dapat mengembangkan diri untuk mampu mengadaptasikan pendengarannya dengan suara yang keras.
Polusi bising bawah air yang merupakan hasil dari aktivitas manusia meliputi perkapalan, produksi dan eksplorasi minyak & gas offsore, sonar militer atau industri, eksperimen, ledakan bawah air dan aktivitas penduduk lainnya dalam laut, dan bising airborne dari pesawat.
Pada gambar diatas menunjukkan skema keberadaan bising pada biota laut. Masing-masing warna menunjukkan:
Acoustic Smog atau dapat diartikan sebagai Asap Akustik merupakan suatu istilah yang merujuk kepada polusi bising di lautan yang disebabkan dari ulah manusia (man-made noise), biasanya terdiri dari sumber yang berasal dari :
- Perkapalan
- Produksi dan eksplorasi minyak & gas offsore
- Sonar militer atau industri
- Eksperimen
- Ledakan bawah air dan aktivitas penduduk lainnya dalam laut
- Bising dari Pesawat
Tercatat dalam penelitian bahwa perairan Indonesia termasuk kawasan trafik perkapalan paling padat bersama dengan kawasan lautan Atlantik Utara dan Pasifik Utara. Ini berarti bahwa area tersebut banyak terdapat Acoustic Smog.
Dari berbagai berita menunjukkan bahwa acoustic smog ini memberikan dampak yang mengancam penghuni bawah laut khususnya ikan paus, lumba-lumba dan mamalia lainnya. Salah satu yang sedang menjadi studi dari penelitian Son de Mar adalah spesies Cetacean. Mamalia ini banyak menggunakan sinyal akustik untuk keberlangsungan hidupnya seperti bermigrasi, reproduksi, mencari makan dan berkomunikasi dengan sesamanya.
Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi buatan manusia, begitu banyak bising yang lalu-lalang bahkan telah ada sejak seratus tahun yang lalu. Ini ternyata berakibat fatal kepada kemampuan Catacean untuk berkomunikasi melalui sinyal akustik khususnya. Lebih lanjut fakta membuktikan bahwa acoustic smog secara langsung berkontribusi terhadap kematian spesies ini.
Efek dari acoustic smog terhadap spesies Cetacean meliputi :
- Migrasi (perpindahan)
- Avoidance reactions (Reaksi penghindaran)
- Tabrakan dengan kapal
- Terdampar
- Kerusakan pendengaran
- Trauma akustik
- Kematian
- Ancaman kepunahan
Selanjutnya, fakta ilmiah membuktikan bahwa man-made noise (bising ulah manusia) sering menyebabkan luka pada organ akustik dari cetacean bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sinyal Akustik Cetacean sebagai Bio-Indicator
Sebagai predator puncak dari rantai makanan, Catacean telah berkembang selama berjuta-juta tahun dan telah memiliki persepsi akustik tersendiri dengan keadaan lingkungannya. Untuk itu, spesies ini dapat dijadikan sebagai indikator dari keseimbangan akustik dalam lautan.
Mengerti akan akan bagaimana mamalia laut merasakan kondisi lingkungannya dan memahami seluk-beluk dari metode komunikasi mereka perlu diperhatikan dalam menyelidiki konservasi dari ekosistem perairan dan pengembangan aktivitas manusia pada laut yang berkelanjutan.
Sistem pendengaran cetacean mempunyai karakteristik berupa elemen morpoligi unik (unique morphological) yang berlapis-lapis yang terdapat pada tubuhnya. Elemen ini digunakan untuk beradaptasi , dimana elemen ini menunjukkan kemampuan cetacean untuk memilah-milah frekuensi akustik sehingga dapat mendiskriminasi detail-detail dari citra akustik yang ditangkapnya. Elemen ini bisa disebut sebagai auditory channel (saluran pendengaran) yang berfungsi sebagai frequencies filters (penyaring frekuensi). Dalam organisme yang normal, pemilahan frekuensi -termasuk yang diproduksi maupun yang diterima dari sekitar- itu evolusioner, maksudnya berkembang sesuai dengan habitat. Sehingga karakteristik pendengaran setiap spesies cetacean berbeda-beda tergantung pada habitat ia berada. Di sisi lain, dengan mengetahui sensitivitas telinga sebagai sensor pendengaran terhadap beberapa sinyal akustik dapat diperkirakan kapasitas akustik untuk hidup dalam habitat tertentu.
Ada sekitar 80 spesies cetacean memiliki irama akustik yang kompleks dan unik. Ini disebut sebagai diversitas sinyal akustik tiap spesies. Analisis menjadi semakin kompleks dalam hal mengekstraksi komponen dasar yang terkandung dalam sinyal informasi dari irama akustik tersebut. Oleh karena itu, kemampuan untuk memperkirakan efek dari kontaminasi sumber suara tertentu dalam laut menjadi amat terbatas.
Ada beberapa mamalia menengah yang tidak menggunakan saluran pendengaran eksternal seperti pada kebanyakan spesies, yakni dengan menerima getaran akustik melalui jaw (rahang) yang meneruskan informasi secara langsung menuju telinga dalam dan kemudian diproses dulu sebelum disampaikan ke otak.
Fenomena Akustik Smog penyebab kepunahan mamalia laut
Ratusan tahun lalu telah bermunculan bising-bising akibat ulah manusia pada lingkungan perairan hingga kini. Padahal selama evolusinya 100 juta tahun lalu, cetacean belum pernah mengalami hal tersebut . Akibatnya, para paus dan lumba-lumba belum dapat mengembangkan diri untuk mampu mengadaptasikan pendengarannya dengan suara yang keras.
Polusi bising bawah air yang merupakan hasil dari aktivitas manusia meliputi perkapalan, produksi dan eksplorasi minyak & gas offsore, sonar militer atau industri, eksperimen, ledakan bawah air dan aktivitas penduduk lainnya dalam laut, dan bising airborne dari pesawat.
Pada gambar diatas menunjukkan skema keberadaan bising pada biota laut. Masing-masing warna menunjukkan:
- Merah : Bising buatan manusia
- Biru : Suara natural
- Hijau : bising biologis berasal dari makhluk perairan
Ketika manusia telah berhasil menemukan dan mengimplementasikan teknologi Sonar dengan intensitas tinggi, maka terjadilah apa yang disebut sebagai Acoustic Smog. Bising menyebabkan para mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba tidak dapat lagi berkomunikasi dengan baik. Mereka biasanya menggunakan sinyal-sinyal akustik untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain bahkan dengan jarak yang jauh sekalipun. Frekuensi yang biasa digunakan antara 0,1 – 10 kHz. Namun, dengan adanya bising akustik smog tersebut, semua sinyal informasi yang mereka pancarkan pun tidak dapat sampai kepada individu lainnya karena telah bercampur dengan bising tersebut.
Meskipun sinyal tersebut berupa sekumpulan irama dengan frekuensi-frekuensi tertentu, tetap saja hasilnya nihil. Akibatnya mereka jadi susah berinteraksi, susah mencari pasangan, makanan, dan tidak dapat bernavigasi (berpindah) yang terarah.
Akhirnya mamalia ini beradaptasi dengan menaikkan lagi frekuensi akustik dengan harapan dapat berkomunikasi dengan yang lainnya. Tetapi tetap saja, tidak bisa. Suara bising yang sangat keras (berintensitas sangat tinggi) sekitar 180 – 240 dB telah merusak saluran auditori mereka.
Mereka pun terpaksa naik ke permukaan dengan cepat. Padahal semakin mendekati permukaan, maka temperature semakin tinggi dan densitas air semakin rendah, menyebabkan kecepatan suara dalam air semakin cepat dan pastinya mereka akan mengalami kepekakkan akibat bising yang keras itu. Apalagi jika makhluk ini berada dekat yakni tidak lebih jauh dari 1 km dari sumber ledakan atau sonar. Disamping itu, semakin mendekati permukaan, maka tekanan akan semain rendah. Ini jelas-jelas menimbulkan shock secara fisiologis terhadap tubuh mamalia ini. Hal-hal yang kemungkinan besar akan terjadi ialah tabrakan dengan kapal, terdampar dan trauma akustik.
Betapapun, telah jelas bahwa acoustic smog baik pada level intensitas yang berbeda-beda dapat menyebabkan dampak negative terhadap populasi cetacean baik secara langsung maupun tidak. Banyak bukti yang memperlihatkan betapa Sonar aktif dengan intensitas tinggi dan sumber suara nyaring lainnya, menyebabkan luka yang begitu parah pada organ akustik mamalia laut, yang akhirnya akan mengakibatkan makhluk itu terdampar dan mati. Untuk dapat mengetahui lebih detail tentang efek dari bising pada mamalia laut ini, dibutuhkan pengertian akan keterkaitan antara parameter akustik seperti frekuensi, intensitas, exposure duration, dan lain-lain.
Para ilmuwan seharusnya bisa meneliti, mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi baru khususnya dalam bidang akustik dalam hal ini yang memperhatikan konservasi habitat laut. Jika tidak, maka kesetimbangan natural lautan akan kacau bahkan untuk waktu yang lama atau permanen.
Disadur dari berbagai sumber referensi :
www.sonsdemar.eu
http://www.natural-environment.com/blog/2009/04/08/loud-sonar-causes-deafness-in-dolphins/
http://articles.latimes.com/2005/apr/17/news/adna-noisy17?pg=1
http://www.treehugger.com/files/2008/10/acoustic-smog-killing-whales.php
http://www.afp.com/
http://jagadees.wordpress.com/
http://www.scientificamerican.com/
http://www.foxnews.com/
Meskipun sinyal tersebut berupa sekumpulan irama dengan frekuensi-frekuensi tertentu, tetap saja hasilnya nihil. Akibatnya mereka jadi susah berinteraksi, susah mencari pasangan, makanan, dan tidak dapat bernavigasi (berpindah) yang terarah.
Akhirnya mamalia ini beradaptasi dengan menaikkan lagi frekuensi akustik dengan harapan dapat berkomunikasi dengan yang lainnya. Tetapi tetap saja, tidak bisa. Suara bising yang sangat keras (berintensitas sangat tinggi) sekitar 180 – 240 dB telah merusak saluran auditori mereka.
Mereka pun terpaksa naik ke permukaan dengan cepat. Padahal semakin mendekati permukaan, maka temperature semakin tinggi dan densitas air semakin rendah, menyebabkan kecepatan suara dalam air semakin cepat dan pastinya mereka akan mengalami kepekakkan akibat bising yang keras itu. Apalagi jika makhluk ini berada dekat yakni tidak lebih jauh dari 1 km dari sumber ledakan atau sonar. Disamping itu, semakin mendekati permukaan, maka tekanan akan semain rendah. Ini jelas-jelas menimbulkan shock secara fisiologis terhadap tubuh mamalia ini. Hal-hal yang kemungkinan besar akan terjadi ialah tabrakan dengan kapal, terdampar dan trauma akustik.
Betapapun, telah jelas bahwa acoustic smog baik pada level intensitas yang berbeda-beda dapat menyebabkan dampak negative terhadap populasi cetacean baik secara langsung maupun tidak. Banyak bukti yang memperlihatkan betapa Sonar aktif dengan intensitas tinggi dan sumber suara nyaring lainnya, menyebabkan luka yang begitu parah pada organ akustik mamalia laut, yang akhirnya akan mengakibatkan makhluk itu terdampar dan mati. Untuk dapat mengetahui lebih detail tentang efek dari bising pada mamalia laut ini, dibutuhkan pengertian akan keterkaitan antara parameter akustik seperti frekuensi, intensitas, exposure duration, dan lain-lain.
Para ilmuwan seharusnya bisa meneliti, mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi baru khususnya dalam bidang akustik dalam hal ini yang memperhatikan konservasi habitat laut. Jika tidak, maka kesetimbangan natural lautan akan kacau bahkan untuk waktu yang lama atau permanen.
Disadur dari berbagai sumber referensi :
www.sonsdemar.eu
http://www.natural-environment.com/blog/2009/04/08/loud-sonar-causes-deafness-in-dolphins/
http://articles.latimes.com/2005/apr/17/news/adna-noisy17?pg=1
http://www.treehugger.com/files/2008/10/acoustic-smog-killing-whales.php
http://www.afp.com/
http://jagadees.wordpress.com/
http://www.scientificamerican.com/
http://www.foxnews.com/